| Konflik Perikanan di Kabupaten Banggai Laut: Nelayan Kecil Terdesak oleh Dominasi Pajeko  Kabupaten Banggai Laut di Sulawesi Tengah memiliki potensi perikanan yang besar. Namun, di balik kekayaan lautnya, ada konflik yang berkelanjutan antara nelayan kecil tradisional dan nelayan besar yang menggunakan kapal "Pajeko". Konflik ini terjadi karena perebutan wilayah tangkapan, yang semakin merugikan nelayan tradisional, mengancam kelangsungan hidup mereka dan kelestarian ekosistem laut. Akar Konflik: Perebutan Ruang Tangkap Nelayan kecil di Banggai Laut biasanya menggunakan peralatan sederhana seperti jaring kecil, pancing, atau bubu, dengan jangkauan terbatas di sekitar pesisir. Sementara itu, kapal "Pajeko", yang biasanya berukuran besar dan dilengkapi dengan alat tangkap modern seperti cantrang atau purse seine, melakukan perjalanan ke daerah yang secara tradisional menjadi andalan nelayan kecil. Akibatnya, terjadi: 
 Dampak Sosial-Ekonomi: Bagi masyarakat pesisir Banggai Laut, laut merupakan identitas budaya dan sumber pendapatan. Di antara konflik yang terjadi adalah: 
 Solusi dan Regulasi yang Lemah: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/2021 tentang Wilayah Penangkapan Ikan, misalnya, mengatur alat penangkapan ikan, jalur penangkapan, dan peraturan lainnya. Zonesi perikanan mengatur ukuran mil laut yang digunakan nelayan, terutama nelayan kecil dan besar. Jalur 1 terdiri dari 0-4 mil laut dan jalur 2 terdiri dari 4-12 mil laut, masing-masing. Kapal besar dengan berat lebih dari 30 GT atau yang membutuhkan izin usaha dari Menteri Kelautan dan Perikanan hanya diperbolehkan beroperasi di jalur 3, yang terdiri dari lebih dari 12 mil laut. Dua prinsip pengelolaan yang dimaksudkan oleh Peraturan Menteri ini adalah sebagai berikut: yang pertama mengatur jalur dan membatasi kapasitas penangkapan untuk memastikan bahwa nelayan yang lebih besar dan nelayan kecil memiliki akses yang sama. Yang kedua adalah menjaga keanekaragaman hayati melalui pemilihan alat penangkapan ikan yang tepat dan pengembangan peralatan yang ramah lingkungan. Selain itu, Permen KP No. 18/2021 tidak tersosialisasikan dan dilaksanakan dengan baik di tingkat masyarakat, pengusaha pajeko, pemerintah daerah, dan bahkan Dewan Perwakilan Daerah. Akibatnya, terkesan ada perebutan ruang tangkap antara masyarakat dan pengusaha pajeko. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan, yang berarti kapal besar dapat melanggar aturan karena tidak ada patroli laut. Faktor lain adalah tumpang tindih kebijakan, yang berarti tidak jelas bagaimana pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten membagi kewenangan. Beberapa solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 
 konflik perikanan di Banggai Laut menunjukkan ketidaksesuaian dalam pengelolaan sumber daya laut. Jika tidak ditangani segera, bukan hanya nelayan tradisional yang akan terancam, tetapi juga keberlanjutan ekosistem perairan Banggai Laut. Kita semua harus berkomitmen untuk membangun sistem kelautan yang adil dan berkelanjutan di mana nelayan kecil tidak lagi menjadi korban industrialisasi perikanan yang tidak terkendali. AuthorMuhamad Akib 
				
		0 Comments
	
		 Ombak Besar, Rezeki BesarKalimat itu  mungkin bisa menggambarkan bagaimana kondisi yang dihadapi oleh nelayan pemancing ikan tradisional  di Desa Lipu Talas. Desa Lipu Talas sendiri adalah salah satu dari dua Desa yg masuk kedalam program "Pengintegrasian Tatakelola perikanan skala kecil berkelanjutan dan perlindungan ekosistem terumbu karang kedalam kebijakan Desa" Program ini dilaksanakan oleh SIKAP Institute sejak Januari tahun 2025 atas kerjasama dengan Burung Indonesia. Desa Lipu Talas berada di Pulau labobo, kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah. Nelayan di Desa lipu Talas adalah nelayan dengan mayoritas target ikan buruannya sebagian besar dari ikan pelagis seperti marlin atau ikan layar, Tenggiri, Tuna, Giant Travelly atau Bobara dan jenis" ikan pelagis lain. Jika bagi sebagian nelayan, pada umumnya musim Selatan-Barat yg biasa dimulai pada bulan mei hingga bulan september adalah musim untuk tdk melaut. Penyebabnya adalah dimusim yg terjadi pada bulan mei-september tersebut kondisi laut sangat susah ditebak dan masuk kedalam kategori berbahaya. Berbahaya karena pada musim ini, ombak laut lebih besar dari pada musim lain, hujan sering kali turun tanpa abah-abah dan petunjuk, angin bertiup kencang serta arus laut yang kuat. Kondisi-kondisi seperti inilah yg membuat musim ini berbahaya bagi para nelayan, karena potensi resiko yg ditimbulkan jauh lebih besar dari pada musim-musim melaut biasanya, bahkan tidak jarang banyak yg mengalami kerugian mulai dari perahu, mesin,, dan jg kehilangan nyawa. Namun bagi beberapa nelayan pemancing tradisional, justru musim inilah yang menurut mereka menjadi waktu panen untuk hasil laut. Karena pada musim yg dikenal sebagai musim kencang ini, banyak sekali ikan buruan yang bermigrasi. Terutama ikan pelagis besar yang datang bergerombol melewati perairan Banggai-Peleng. Banggai peleng sendiri masuk kedalam kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil atau biasa disingkat sebagai (KKP3K). Bagi nelayan di Desa Lipu Talas, musim badai dan ombak besar atau biasa disebut sebagai musim kencang bukanlah penghalang bagi mereka untuk mencari rezeki. Bukan pula musibah atau kutukan bagi nelayan, melainkan sebuah anugerah dan rezeki yang hadir dalam gulungan ombak-ombak besar, yang datang tertiup angin, yang jatuh bersama tetesan hujan. Yah begitulah masyarakat desa Lipu Talas memandang alam sebagai teman hidup mereka, tidak peduli seganas apa lautan yg akan diarungi atau sebesar apa resiko yg harus ditanggung. Bagi mereka, walaupun dikala laut tidak dalam keadaan baik-baik saja, laut tidak pernah berhenti memberi pada manusia. Tak tanggung-tanggung hasil yang diperoleh oleh nelayan pemancing dengan teknik tradisional handline dari Desa Lipu Talas, sekali turun melaut hasil yang didapat bisa mencapai 1-3 juta rupiah. Hasil yang cukup sebanding dengan resiko yang diterima. Segelintir kisah bagaimana dinamika masyarakat pesisir dan relasi antara manusia dan alam. Sebuah potret kehidupan nelayan yang bergantung pada kondisi alam, bahkan saat alam dalam kondisi jauh dari kata baik. Seperti apa yg disampaikan oleh salah satu Nelayan Desa Lipu Talas Pardi, bahwa : Bagaimanapun kondisi laut, kami bergantung hidup pada hasil-hasilnya. Sy pakai pancinh tradisional karena memang dari bapak sudah pakai itu dan tidak ada efek samping bagi laut. Kami hidup dari laut, bergantung sama hasilnya. Bagaimanapun kondisi laut, kami akan tetap turun" Selalu ada dorongan ekonomi, budaya, eko-sosiologi dalam setiap dinamika kehidupan masyarakat pesisir yg bgtu menarik untuk diketahui dan penting untuk dipelajari. AuthorMoh. Annas | 
