SIKAP Institute
  • Home
  • About Us
  • Doc
  • News

June 26th, 2025

26/6/2025

0 Comments

 

Konflik Perikanan di Kabupaten Banggai Laut: Nelayan Kecil Terdesak oleh Dominasi Pajeko

Picture
​Kabupaten Banggai Laut di Sulawesi Tengah memiliki potensi perikanan yang besar. Namun, di balik kekayaan lautnya, ada konflik yang berkelanjutan antara nelayan kecil tradisional dan nelayan besar yang menggunakan kapal "Pajeko". Konflik ini terjadi karena perebutan wilayah tangkapan, yang semakin merugikan nelayan tradisional, mengancam kelangsungan hidup mereka dan kelestarian ekosistem laut.


Akar Konflik: Perebutan Ruang Tangkap Nelayan kecil di Banggai Laut biasanya menggunakan peralatan sederhana seperti jaring kecil, pancing, atau bubu, dengan jangkauan terbatas di sekitar pesisir. Sementara itu, kapal "Pajeko", yang biasanya berukuran besar dan dilengkapi dengan alat tangkap modern seperti cantrang atau purse seine, melakukan perjalanan ke daerah yang secara tradisional menjadi andalan nelayan kecil.

Akibatnya, terjadi:
  1. Penurunan Hasil Tangkapan Nelayan Kecil—Kehadiran Pajeko di dekat pantai mengurangi stok ikan, menyisakan sedikit untuk nelayan tradisional.
  2. Kerusakan Ekosistem: Alat tangkap kapal besar yang tidak selektif sering merusak terumbu karang dan menangkap ikan kecil yang seharusnya belum layak panen.
  3. Pelanggaran Wilayah Kelola—Aturan seperti Zona Penangkapan Ikan  membatasi operasi kapal besar di beberapa wilayah, tetapi seringkali diabaikan.

Dampak Sosial-Ekonomi:
Bagi masyarakat pesisir Banggai Laut, laut merupakan identitas budaya dan sumber pendapatan. Di antara konflik yang terjadi adalah:
  • Kemiskinan Nelayan Kecil: Akibat penurunan hasil tangkapan, banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan harian mereka.
  • Ketegangan Sosial: Pernah ada bentrok fisik antara nelayan kecil dan awak kapal besar.
  • "Migrasi Paksa"—Karena biaya BBM yang lebih tinggi, beberapa nelayan harus memilih wilayah kelola yang lebih jauh dari desa mereka.

Solusi dan Regulasi yang Lemah: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/2021 tentang Wilayah Penangkapan Ikan, misalnya, mengatur alat penangkapan ikan, jalur penangkapan, dan peraturan lainnya. Zonesi perikanan mengatur ukuran mil laut yang digunakan nelayan, terutama nelayan kecil dan besar. Jalur 1 terdiri dari 0-4 mil laut dan jalur 2 terdiri dari 4-12 mil laut, masing-masing. Kapal besar dengan berat lebih dari 30 GT atau yang membutuhkan izin usaha dari Menteri Kelautan dan Perikanan hanya diperbolehkan beroperasi di jalur 3, yang terdiri dari lebih dari 12 mil laut. Dua prinsip pengelolaan yang dimaksudkan oleh Peraturan Menteri ini adalah sebagai berikut: yang pertama mengatur jalur dan membatasi kapasitas penangkapan untuk memastikan bahwa nelayan yang lebih besar dan nelayan kecil memiliki akses yang sama. Yang kedua adalah menjaga keanekaragaman hayati melalui pemilihan alat penangkapan ikan yang tepat dan pengembangan peralatan yang ramah lingkungan. Selain itu, Permen KP No. 18/2021 tidak tersosialisasikan dan dilaksanakan dengan baik di tingkat masyarakat, pengusaha pajeko, pemerintah daerah, dan bahkan Dewan Perwakilan Daerah. Akibatnya, terkesan ada perebutan ruang tangkap antara masyarakat dan pengusaha pajeko. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan, yang berarti kapal besar dapat melanggar aturan karena tidak ada patroli laut. Faktor lain adalah tumpang tindih kebijakan, yang berarti tidak jelas bagaimana pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten membagi kewenangan.

Beberapa solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
  1. Meningkatkan Penegakan Hukum: Pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan memberikan hukuman tegas bagi mereka yang melanggar.
  2. Pemberdayaan Nelayan Kecil: nelayan skala kecil harus di beri peningkatan pengetahuan terkait ekosistem pesisir dan perikanan skala kecil berkelanjutan serta pemberian bantuan alat tangkap yang ramah lingkungan.
  3. Pemetaan Partisipatif Wilayah Tangkap yang Jelas: Ini melibatkan , nelayan lokal dan masyarakat adat dan nelayan skala besar dalam pengelolaan sumber daya.
  4. Dialog Antar-Pihak: Ini melibatkan stake holders dari pemerintah daerah, nelayan tradisional, Nelayan besar, dan pemerintah daerah untuk membangun kesepahaman bersama terhadap tata kelola perikanan

konflik perikanan di Banggai Laut menunjukkan ketidaksesuaian dalam pengelolaan sumber daya laut. Jika tidak ditangani segera, bukan hanya nelayan tradisional yang akan terancam, tetapi juga keberlanjutan ekosistem perairan Banggai Laut. Kita semua harus berkomitmen untuk membangun sistem kelautan yang adil dan berkelanjutan di mana nelayan kecil tidak lagi menjadi korban industrialisasi perikanan yang tidak terkendali.

Author

Muhamad Akib

0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    June 2025
    February 2025
    November 2020
    October 2020
    March 2018
    November 2017
    September 2017

Site powered by Weebly. Managed by Rumahweb Indonesia
  • Home
  • About Us
  • Doc
  • News