SIKAP Institute
  • Home
  • About Us
  • Doc
  • News

​Kearifan lokal ditengah laju modernisasi dan himpitan kebutuhan ekonomi

20/6/2025

0 Comments

 
Picture
Picture
Picture
Cipo dan gara-gara adalah alat tangkap tradisional yg dimiliki oleh masyarakat etnis BAJO yg ada di desa Bontosi, sedikit sisa dari pengetahuan masyarakat yg kita sebut sebagai kearifan lokal. Alat tangkap ini adalah alat tangkap khusus yg digunakan dalam proses menangkap gurita.

Dua alat ini dibuat dari bahan dasar utama yg sama, yaitu kayu. Jenis kayu yg paling sering dipakai adalah batang dari pohon nangka. 

Untuk Gara-gara sendiri, kayu yg sudah dibentuk menyerupai bentuk dari gurita kemudian dibalut dengan kain yg berwarna. Kain ini yg kemudian digunting dan dipola sedemikian rupa agar mirip dengan gurita. Kain berperan sebagai tentakel dan kulit dari gurita. Kayu ini yg kemudian diisi dengan timah agar dapat tenggelam kedalam laut. 

Dalam praktek penggunaannya, gara-gara tadi ditenggelamkan kedalam air dimana sekiranya tempat tersebut diketahui sebagai rumah bagi gurita. Kemudian ditarik ke arah permukaan guna menarik gurita keluar dari sarangnya. Gurita tersebut  kemudian mengejar gara-gara hingga ke permukaan air. Apabila gurita telah berada dipermukaan airdan berdekatan dengan perahu, nelayan kemudian menangkapnya menggunakan tangan secara langsung.

Untuk cipo sendiri, ia dibentuk menyerupai ikan, yg kemdian pada beberapa bagian tubuhnya diberikan kail pancing dan juga ujung dari sendok makan stainles. Tujuannya adalah ketika gurita mengejar dan menangkap cipo, ia akan terjebak dimata kail tersebut. Teorinya hampir sama dengan teknik memancing ikan handline. 

Ditengah laju modernisasi, tentunya pengtahuan lokal yg arif seperti cipo dan gara-gara memiliki tantangan besar untuk dilestarikan. Bukan hanya karena faktor ketertinggalan, tetapi juga faktor kurangnya minat pemuda untuk melanjutkan dan memelihara pengetahuan lokal yg arif seperti halnya cipo dan gara-gara. 

Dimasa modern dimana masyarakat hidup dalam perebutan nilai validasi visual, profesi nelayan dianggap bukanlah profesi yg menjanjikan bahkan terkesan tidak dapat menghidupi. Padahal, jika ekosistem dikelola dengan bijak, baik dan benar, serta dilakukan proses penanganan khusus pada hasil tangkapan, profesi nelayan bisa jadi adalah profesi yg sangat menjanjikan.

Hanya saja memang, profesi nelayan belum diakui sebagai salah satu profesi layak kerja di Indonesia. Bagi sy, mungkin saja memang karena nelayan tidak memakai sepatu dan seragam dalam melaut. Sehingga sulit divalidasi dan diakui penghasilannya dimasyarakat. 

Serupa tapi tak sama, hal ini juga terjadi pada pekerjaan petani. Padahal Negeri kita ini dikenal sebagai negeri agraris dan juga negeri maritim. Tetapi, generasinya tidak lagi mengenal alam sebagai identitas alamiahnya. Dimana nilai sosio-kultural, histori-politiknya bertumbuh.

Dalam tantangan kebutuhan ekonomi, kearifan lokal seperti cipo dan gara-gara kalah tenar dengan penggunaan alat tangkap destructive seperti bom dan bius.
Betapa tidak, Penangkapan menggunakan bom dan bius sangat menggiurkan khususnya bagi nelayan kecil, menurut pengakuan salah satu nelayan ia mengatakan “satu kali bom itu, bisa menghasilkan 8 juta” tentunya dengan nada penuh semangat. 

Walaupun tanpa sadar, perilaku destructive oknum nelayan inilah yg kemduian menurunkan efisiensi dan efektivitas jumlah tangkapan. Yang pada masanya nanti dapat menyebabkan pekerjaan Nelayan punah karena kepunahan sumber daya pesisirnya. Tak ada lagi yang dapat dijaring dan dipancing oleh nelayan, selain kenangan tentang ikan-ikan yang melimpah dan cerita tentang pendapatan yang banyak.

Tantangan penggunaan alat pancing ramah lingkungan tentunya adalah pada sisi pemasukan, namun bagi beberapa nelayan yang tetap teguh pada prinsip menjaga laut. Uang bukanlah segalanya, melainkan keberlanjutan dan konsistensi hasilnya.

Seperti apa yg dikatakan oleh bapak Mad “kalau hari ini dapatnya mungkin hanya sdikit, tdk apa-apa. Tapi kan tidak mungkin dia habis, pasti besok ada lagi, mungkin lebih banyak lagi. Tapi kalau hari ini, dapat satu kali banyak dengan bom, rusak rumah  mereka, kita tunggu lama lagi, nanti rumah mereka ada, baru kita bisa ambil lagi. Jadi biar saja tdk banyak-banyak, asal bisa terus dapat hasilnya. Yakin saja, kalau kita jaga baik-baik, pasti hasilnya jg akan banyak”

Tentunya masih banyak persoalan lain yg menyebabkan masyarakat pesisir khususnya nelayan kecil berada dalam pusaran kemiskinan dan keinginan meninggalkan pekerjaan nelayan.
seperti keadaan struktural tentang kebijakan yg minim keberpihakan kepada nelayan tradisional  dan juga pengaruh kultural masyarakat pesisir sendiri, yg terkadang tanpa sadar memelihara perilaku negatif dalam melakukan proses penangkapan ikan.

Author

Moh. Annas

0 Comments



Leave a Reply.

    Archives

    October 2025
    June 2025
    February 2025
    November 2020
    October 2020
    March 2018
    November 2017
    September 2017

Site powered by Weebly. Managed by Rumahweb Indonesia
  • Home
  • About Us
  • Doc
  • News