| Ombak Besar, Rezeki BesarKalimat itu  mungkin bisa menggambarkan bagaimana kondisi yang dihadapi oleh nelayan pemancing ikan tradisional  di Desa Lipu Talas. Desa Lipu Talas sendiri adalah salah satu dari dua Desa yg masuk kedalam program "Pengintegrasian Tatakelola perikanan skala kecil berkelanjutan dan perlindungan ekosistem terumbu karang kedalam kebijakan Desa" Program ini dilaksanakan oleh SIKAP Institute sejak Januari tahun 2025 atas kerjasama dengan Burung Indonesia. Desa Lipu Talas berada di Pulau labobo, kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah. Nelayan di Desa lipu Talas adalah nelayan dengan mayoritas target ikan buruannya sebagian besar dari ikan pelagis seperti marlin atau ikan layar, Tenggiri, Tuna, Giant Travelly atau Bobara dan jenis" ikan pelagis lain. Jika bagi sebagian nelayan, pada umumnya musim Selatan-Barat yg biasa dimulai pada bulan mei hingga bulan september adalah musim untuk tdk melaut. Penyebabnya adalah dimusim yg terjadi pada bulan mei-september tersebut kondisi laut sangat susah ditebak dan masuk kedalam kategori berbahaya. Berbahaya karena pada musim ini, ombak laut lebih besar dari pada musim lain, hujan sering kali turun tanpa abah-abah dan petunjuk, angin bertiup kencang serta arus laut yang kuat. Kondisi-kondisi seperti inilah yg membuat musim ini berbahaya bagi para nelayan, karena potensi resiko yg ditimbulkan jauh lebih besar dari pada musim-musim melaut biasanya, bahkan tidak jarang banyak yg mengalami kerugian mulai dari perahu, mesin,, dan jg kehilangan nyawa. Namun bagi beberapa nelayan pemancing tradisional, justru musim inilah yang menurut mereka menjadi waktu panen untuk hasil laut. Karena pada musim yg dikenal sebagai musim kencang ini, banyak sekali ikan buruan yang bermigrasi. Terutama ikan pelagis besar yang datang bergerombol melewati perairan Banggai-Peleng. Banggai peleng sendiri masuk kedalam kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil atau biasa disingkat sebagai (KKP3K). Bagi nelayan di Desa Lipu Talas, musim badai dan ombak besar atau biasa disebut sebagai musim kencang bukanlah penghalang bagi mereka untuk mencari rezeki. Bukan pula musibah atau kutukan bagi nelayan, melainkan sebuah anugerah dan rezeki yang hadir dalam gulungan ombak-ombak besar, yang datang tertiup angin, yang jatuh bersama tetesan hujan. Yah begitulah masyarakat desa Lipu Talas memandang alam sebagai teman hidup mereka, tidak peduli seganas apa lautan yg akan diarungi atau sebesar apa resiko yg harus ditanggung. Bagi mereka, walaupun dikala laut tidak dalam keadaan baik-baik saja, laut tidak pernah berhenti memberi pada manusia. Tak tanggung-tanggung hasil yang diperoleh oleh nelayan pemancing dengan teknik tradisional handline dari Desa Lipu Talas, sekali turun melaut hasil yang didapat bisa mencapai 1-3 juta rupiah. Hasil yang cukup sebanding dengan resiko yang diterima. Segelintir kisah bagaimana dinamika masyarakat pesisir dan relasi antara manusia dan alam. Sebuah potret kehidupan nelayan yang bergantung pada kondisi alam, bahkan saat alam dalam kondisi jauh dari kata baik. Seperti apa yg disampaikan oleh salah satu Nelayan Desa Lipu Talas Pardi, bahwa : Bagaimanapun kondisi laut, kami bergantung hidup pada hasil-hasilnya. Sy pakai pancinh tradisional karena memang dari bapak sudah pakai itu dan tidak ada efek samping bagi laut. Kami hidup dari laut, bergantung sama hasilnya. Bagaimanapun kondisi laut, kami akan tetap turun" Selalu ada dorongan ekonomi, budaya, eko-sosiologi dalam setiap dinamika kehidupan masyarakat pesisir yg bgtu menarik untuk diketahui dan penting untuk dipelajari. AuthorMoh. Annas 
				
		0 Comments
	
		 Cipo dan gara-gara adalah alat tangkap tradisional yg dimiliki oleh masyarakat etnis BAJO yg ada di desa Bontosi, sedikit sisa dari pengetahuan masyarakat yg kita sebut sebagai kearifan lokal. Alat tangkap ini adalah alat tangkap khusus yg digunakan dalam proses menangkap gurita. Dua alat ini dibuat dari bahan dasar utama yg sama, yaitu kayu. Jenis kayu yg paling sering dipakai adalah batang dari pohon nangka. Untuk Gara-gara sendiri, kayu yg sudah dibentuk menyerupai bentuk dari gurita kemudian dibalut dengan kain yg berwarna. Kain ini yg kemudian digunting dan dipola sedemikian rupa agar mirip dengan gurita. Kain berperan sebagai tentakel dan kulit dari gurita. Kayu ini yg kemudian diisi dengan timah agar dapat tenggelam kedalam laut. Dalam praktek penggunaannya, gara-gara tadi ditenggelamkan kedalam air dimana sekiranya tempat tersebut diketahui sebagai rumah bagi gurita. Kemudian ditarik ke arah permukaan guna menarik gurita keluar dari sarangnya. Gurita tersebut kemudian mengejar gara-gara hingga ke permukaan air. Apabila gurita telah berada dipermukaan airdan berdekatan dengan perahu, nelayan kemudian menangkapnya menggunakan tangan secara langsung. Untuk cipo sendiri, ia dibentuk menyerupai ikan, yg kemdian pada beberapa bagian tubuhnya diberikan kail pancing dan juga ujung dari sendok makan stainles. Tujuannya adalah ketika gurita mengejar dan menangkap cipo, ia akan terjebak dimata kail tersebut. Teorinya hampir sama dengan teknik memancing ikan handline. Ditengah laju modernisasi, tentunya pengtahuan lokal yg arif seperti cipo dan gara-gara memiliki tantangan besar untuk dilestarikan. Bukan hanya karena faktor ketertinggalan, tetapi juga faktor kurangnya minat pemuda untuk melanjutkan dan memelihara pengetahuan lokal yg arif seperti halnya cipo dan gara-gara. Dimasa modern dimana masyarakat hidup dalam perebutan nilai validasi visual, profesi nelayan dianggap bukanlah profesi yg menjanjikan bahkan terkesan tidak dapat menghidupi. Padahal, jika ekosistem dikelola dengan bijak, baik dan benar, serta dilakukan proses penanganan khusus pada hasil tangkapan, profesi nelayan bisa jadi adalah profesi yg sangat menjanjikan. Hanya saja memang, profesi nelayan belum diakui sebagai salah satu profesi layak kerja di Indonesia. Bagi sy, mungkin saja memang karena nelayan tidak memakai sepatu dan seragam dalam melaut. Sehingga sulit divalidasi dan diakui penghasilannya dimasyarakat. Serupa tapi tak sama, hal ini juga terjadi pada pekerjaan petani. Padahal Negeri kita ini dikenal sebagai negeri agraris dan juga negeri maritim. Tetapi, generasinya tidak lagi mengenal alam sebagai identitas alamiahnya. Dimana nilai sosio-kultural, histori-politiknya bertumbuh. Dalam tantangan kebutuhan ekonomi, kearifan lokal seperti cipo dan gara-gara kalah tenar dengan penggunaan alat tangkap destructive seperti bom dan bius. Betapa tidak, Penangkapan menggunakan bom dan bius sangat menggiurkan khususnya bagi nelayan kecil, menurut pengakuan salah satu nelayan ia mengatakan “satu kali bom itu, bisa menghasilkan 8 juta” tentunya dengan nada penuh semangat. Walaupun tanpa sadar, perilaku destructive oknum nelayan inilah yg kemduian menurunkan efisiensi dan efektivitas jumlah tangkapan. Yang pada masanya nanti dapat menyebabkan pekerjaan Nelayan punah karena kepunahan sumber daya pesisirnya. Tak ada lagi yang dapat dijaring dan dipancing oleh nelayan, selain kenangan tentang ikan-ikan yang melimpah dan cerita tentang pendapatan yang banyak. Tantangan penggunaan alat pancing ramah lingkungan tentunya adalah pada sisi pemasukan, namun bagi beberapa nelayan yang tetap teguh pada prinsip menjaga laut. Uang bukanlah segalanya, melainkan keberlanjutan dan konsistensi hasilnya. Seperti apa yg dikatakan oleh bapak Mad “kalau hari ini dapatnya mungkin hanya sdikit, tdk apa-apa. Tapi kan tidak mungkin dia habis, pasti besok ada lagi, mungkin lebih banyak lagi. Tapi kalau hari ini, dapat satu kali banyak dengan bom, rusak rumah mereka, kita tunggu lama lagi, nanti rumah mereka ada, baru kita bisa ambil lagi. Jadi biar saja tdk banyak-banyak, asal bisa terus dapat hasilnya. Yakin saja, kalau kita jaga baik-baik, pasti hasilnya jg akan banyak” Tentunya masih banyak persoalan lain yg menyebabkan masyarakat pesisir khususnya nelayan kecil berada dalam pusaran kemiskinan dan keinginan meninggalkan pekerjaan nelayan. seperti keadaan struktural tentang kebijakan yg minim keberpihakan kepada nelayan tradisional dan juga pengaruh kultural masyarakat pesisir sendiri, yg terkadang tanpa sadar memelihara perilaku negatif dalam melakukan proses penangkapan ikan. AuthorMoh. Annas | 
 
	 
  
 